Kamis, 30 September 2010

Rahasia Kepemimpinan

Dalam suatu organisasi apapun, kepemimpinan memegang peran yang penting. Bahkan segala sesuatu akan bangkit dan jatuh karena kepemimpinan. Salah satu konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh praktisi manajemen di Amerika adalah konsep SERVE yang dalam bahasa Indonesia berarti Melayani. Konsep utamanya ialah bahwa, apapun jabatan atau kedudukan formalnya, orang-orang yang ingin menjadi pemimpin besar harus mempunyai sikap melayani orang lain. Melalui buku “The Secret – Rahasia Kepemimpinan” oleh Ken Blanchard dan Mark Miller, konsep SERVE dijelaskan secara singkat tapi lugas.

SERVE sendiri merupakan singkatan dari lima kata kunci yaitu:
S - See the Future (Melihat Masa Depan)
E - Engage and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang Lain)
R - Reinvent Continuously (Temukan Kembali Terus Menerus)
V - Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan)
E - Embody The Values (Mewujudkan Nilai)

Huruf pertama S - See the Future mempunyai makna bahwa para pemimpin harus bersedia dan sanggup membantu orang-orang yang mereka melihat tujuannya, dan juga keuntungan-keuntungan melangkah kearah sana. Setiap orang perlu melihat dirinya, kemana mereka pergi, dan apa yang akan menuntun perjalanan mereka.

Huruf kedua E dalam SERVE menjelaskan bahwa Engange and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang Lain) ada dua hal yaitu pertama, merekrut atau memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat. Itu berarti mempunyai pemain-pemain yang tepat dalam suatu tim. Kedua, lakukan apapun yang diperlukan untuk melibatkan hati dan kepala orang-orang tersebut. Dalam sejarah, banyak pemimpin telah menggunakan tangan dan yang lain tidak sama sekali. Barangkali dari sanalah istilah hired hands (orang upahan) berasal.

Kemudian ada huruf R singkatan dari Reinvent Continuously. Disinilah nilai kreativitas pemimpin dilihat. Pemimpin harus bersedia menemukan kembali setidaknya ada tiga tahap. Tahap pertama, bersifat pribadi. Beberapa pertanyaan utama yang harus diajukan adalah “Bagaimana saya belajar dan tumbuh sebagai seorang pemimpin?” “Apa yang saya lakukan untuk mendorong orang-orang dalam kelompok saya agar terus menerus belajar dan menemukan kembali diri sendiri?”. Tingkat penemuan kembali yang kedua adalah sistem dan proses. Pertanyaan untuk diri sendiri dan anak buah kita adalah “Bagaimana kita melakukan pekerjaan tersebut?” Bagaimana kita dapat melakukannya dengan lebih baik? Perubahan apa saja yang akan meningkatkan kemampuan kita untuk melayani pelanggan dan juga satu sama lain? Akhirnya yang ketiga, melibatkan struktur organisasi iu sendiri. Pertanyaan yang baik yang diajukan disini adalah,”Perubahan struktur mana saja yang perlu kita tempuh untuk menjadi lebih efisien dan efektif?”

Huruf V adalah singkatan dari Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan) Kita harus menghargai pelanggan kita lebih dahulu, dan nilai itu akan menuntun perilaku kita dan menjamin keberhasilan kita terus menerus. Apa yang tidak dimengerti kebanyakan orang ialah bahwa mereka dapat meraup hasil keuangan yang lebih tinggi kalau mereka mempunyai hubungan yang baik. Kita harus meningkatkan nilai hubungan dengan seorang mitra seperti halnya dengan hasil. Memimpin pada tingkat yang lebih tinggi mencakup hasil maupun hubungan.

Huruf E terakhir ialah Embody The Values (Mewujudkan Nilai) Ini adalah sesuatu yang mendasar dan berlangsung terus menerus. Kalau kita kehilangan kredibilitas sebagai pemimpin, potensi kepemimpinan kita akan sangat terbatas. Kita harus melakukan lebih daripada sekedar merumuskan nilai-nilai tersebut, kita tidak boleh hanya mengucapkannya, kita harus memperlihatkannya. Semua kepemimpinan sejati dibangun di atas kepercayaan. Salah satu adalah hidup konsisten dengan nilai-nilai yang kita akui. Kalau dikatakan bahwa pelanggan adalah penting, tindakan-tindakan kita seharusnya lebih mendukung pernyataan tersebut. Jika kita memilih untuk hidup seolah-olah pelanggan tidak penting, orang-orang akan mempunyai alasan untuk mempertanyakan kelayakan kita untuk dipercaya.

Akhirnya, bagi para pemimpin yang memimpin dengan tidak didasarkan pada kekuasaan atau jabatan sebaliknya, kepemimpinan yang lahir dari hati yang melayani, maka merekalah ilham bagi semua orang dan bagi calon pemimpin masa depan.

Sumber: Blanchard, Miller, The Secret – Rahasia Kepemimpinan, Elex Media Komputindo, Jakarta 2005.

Rabu, 29 September 2010

Self-Confidence

Self-confidence is an attitude which allows individuals to have positive yet realistic views of themselves and their situations. Self-confident people trust their own abilities, have a general sense of control in their lives, and believe that, within reason, they will be able to do what they wish, plan, and expect. Having self-confidence does not mean that individuals will be able to do everything. Self-confident people have expectations that are realistic. Even when some of their expectations are not met, they continue to be positive and to accept themselves.

People who are not self-confident depend excessively on the approval of others in order to feel good about themselves. They tend to avoid taking risks because they fear failure. They generally do not expect to be successful. They often put themselves down and tend to discount or ignore compliments paid to them. By contrast, self-confident people are willing to risk the disapproval of others because they generally trust their own abilities. They tend to accept themselves; they don’t feel they have to conform in order to be accepted.

Self-confidence is not necessarily a general characteristic which pervades all aspects of a person’s life. Typically, individuals will have some areas of their lives where they feel quite confident, e.g., academics, athletics, while at the same time they do not feel at all confident in other areas, e.g., personal appearance, social relationships.

How is Self-Confidence Initially Developed?

Many factors affect the development of self-confidence. Parents’ attitudes are crucial to children’s feelings about themselves, particularly in children’s early years. When parents provide acceptance, children receive a solid foundation for good feelings about themselves. If one or both parents are excessively critical or demanding, or if they are overprotective and discourage moves toward independence, children may come to believe they are incapable, inadequate, or inferior. However, if parents encourage children’s moves toward self-reliance and accept and love their children when they make mistakes, children will learn to accept themselves and will be on their way to developing self-confidence.

Surprisingly, lack of self-confidence is not necessarily related to lack of ability. Instead it is often the result of focusing too much on the unrealistic expectations or standards of others, especially parents and society. Friends’ influences can be as powerful or more powerful than those of parents and society in shaping feelings about one’s self. Students in their college years re-examine values and develop their own identities and thus are particularly vulnerable to the influence of friends.

Assumptions that Continue to Influence Self-Confidence

In response to external influences, people develop assumptions; some of these are constructive and some are harmful. Several assumptions that can interfere with self-confidence and alternative ways of thinking are:
Assumption: “I must always have love or approval from every significant person in my life.”
Alternative: This is a perfectionistic, unattainable goal. It is more realistic and desirable to develop personal standards and values that are not completely dependent on the approval of others.

Assumption: “I must be thoroughly competent, adequate, and achieving in all important areas of my life.”
Alternative: This again is a perfectionistic, unattainable goal and suggests that personal worth is determined by achievement. Achievement can be satisfying but does not make you more worthy. Instead, worth is an inherent quality and all people possess it.

Assumption: “My past remains all important and control my feelings and behaviors in the present.”
Alternative: While it is true that your confidence was especially vulnerable to external influences during your childhood, as you grow older you can gain awareness and perspective on what those influences have been. In doing so, you can choose which influences you will continue to allow to have an effect on your life. You don’t have to be helpless in the face of past events.

Self-Defeating Thought Patterns

Subscribing to these harmful assumptions leaves you vulnerable to the following self-defeating thought patterns:

* All Or Nothing Thinking. "I am a total failure when my performance is not perfect.”
* Seeing Only Dark Clouds. Disaster lurks around every corner and comes to be expected. For example, a single negative detail, piece of criticism, or passing comment darkens all reality. "I got a C on one chem test, now I’ll never get into medical school.”
* Magnification Of Negative/Minimization Of Positive. Good things don’t count nearly as much as bad ones. "I know I won five chess games in a row, but losing this one makes me feel terrible about myself.”
* Uncritical Acceptance Of Emotions As Truth. "I feel ugly so it must be true.”
* Overemphasis On "Should” Statements. "Should” statements are often perfectionistic and reflective of others’ expectations rather than expressive of your own wants and desires. "Everyone should have a career plan when they come to college. I don’t so there must be something wrong with me.”
* Labeling. Labeling is a simplistic process and often conveys a sense of blame. "I am a loser and it’s my fault.”
* Difficulty Accepting Compliments. "You like this outfit? I think it makes me look fat.”

The following strategies may help overcome such self-defeating thought patterns.

Strategies for Developing Confidence

* Emphasize Strengths. Give yourself credit for everything you try. By focusing on what you can do, you applaud yourself for efforts rather than emphasizing end products. Starting from a base of what you should do helps you live within the bounds of your inevitable limitations.
* Take Risks. Approach new experiences as opportunities to learn rather than occasions to win or lose. Doing so opens you up to new possibilities and can increase your sense of self-acceptance. Not doing so turns every possibility into an opportunity for failure, and inhibits personal growth.
* Use Self-Talk. Use self-talk as an opportunity to counter harmful assumptions. Then, tell yourself to "stop” and substitute more reasonable assumptions. For example, when you catch yourself expecting perfection, remind yourself that you can’t do everything perfectly, that it’s only possible to try to do things and to try to do them well. This allows you to accept yourself while still striving to improve.
* Self-Evaluate. Learn to evaluate yourself independently. Doing so allows you to avoid the constant sense of turmoil that comes from relying exclusively on the opinions of others. Focusing internally on how you feel about your own behavior, work, etc. will give you a stronger sense of self and will prevent you from giving your personal power away to others.

Marketing Plan Versus Marketing Strategy

Running a successful business is not like a field of dreams; you can build it but they might not come. Marketing is all about leting people know about the product or service you offer, and persuading them to buy or use it. And for effective marketing you have to let people know about your product or service repeatedly.

To do this, you're going to have to come up with both a marketing strategy and a marketing plan.

What's the difference between a marketing strategy and a marketing plan?

The marketing strategy is shaped by your overall business goals. It includes a definition of your business, a description of your products or services, a profile of your target users or clients, and defines your company's role in relationship to the competition. The marketing strategy is essentially a document that you use to judge the appropriateness and effectiveness of your specific marketing plans. The CCH Business Owner's Guidebook has an excellent explanation and checklist that you can use to work through your marketing strategy.

To put it another way, your marketing strategy is a summary of your company's products and position in relation to the competition; your sales and marketing plans are the specific actions you're going to undertake to achieve the goals of your marketing strategy.

The marketing plan, then, can be thought of as the practical application of your marketing strategy. If you look at my article, "Writing The Marketing Plan", you'll see that the marketing plan includes details about your business' unique selling proposition, pricing strategy, the sales and distribution plan and your plans for advertising and promotions.

So in effect, you can't have a marketing plan without a marketing strategy. But a marketing plan without a marketing strategy is a waste of time. The marketing strategy provides the goals for your marketing plans. It tells you where you want to go from here. The marketing plan is the specific roadmap that's going to get you there.

Continue on to the next page to learn how to start developing a marketing plan to put your marketing strategy into action.

Sabtu, 25 September 2010

Overview Of Business Model

In the last few years, the concept of the business model has become popular. New types of businesses, often created using the internet, have needed new models. When designing a new business, the model it uses is likely to be a crucial factor in its success. The other type of business that needs to worry about a business model is a business in a steadily declining market.



Chesbrough and Rosenbloom (2002), searching the Web in May 2000, found 107,000 references to the term. In June 2004, the same search found 2,130,000 mentions on Google. However the vast majority of these references are passing references that don't think about what a business model actually is.



Audience Dialogue has evaluated websites for some a variety of organizations, and we've found that many of them have not developed a clear set of objectives for their website - and are thus unable to assess its effectiveness. So we searched the Web, as well as books and academic journal articles, looking for a method of putting together a business model. To our surprise, we didn't find anything usable - so we ended up developing our own concept for a business model.



Despite the two million references to business models, surprisingly few articles have focused on this concept. The most-cited recent article is that by Timmers (1998), which offers a classification scheme for business models for e-commerce. Rappa (2000) extends that scheme, noting that "the business model spells out how a company makes money by specifying where it is positioned in the value chain." He identifies 29 different types of business model, in 9 categories.



Chesbrough and Rosenbloom point out that "while the term ‘business model’ is often used these days, it is seldom defined explicitly." That paper (expanded in Chesbrough's 2003 book) specifies six functions of a business model:



1. to articulate the value proposition

2. to identify a market segment

3. to define the structure of the firm’s value chain

4. to specific the revenue generation mechanisms

5. to describe the position of the firm within the value network

6. to formulate the competitive strategy.



That's a concise summary of what a business model does - but how does it do it? They don't say. Let's move on to Afuah and Tucci (2000), who wrote the book that most specifically covers this topic. However, in 300 pages, it fails to give one full example of a business model. Also, as Dubosson-Torbay et.al (2002) point out, this book "neglects the customer aspect" - it's about what the model does for the business, not for the customers. Alt and Zimmerman (2001), again focusing on the Internet, noticed that the term "business model" was not consistently defined, and that a consensus on the elements of business models was lacking.



Several writers have produced typologies of business models, all focusing on the internet. For example, Bienstock et.al (2002) offer a "complete taxonomy" of web business models, based on four factors: number of buyers, number and type of sellers, nature and frequency of product offering, and price mechanisms. Vassilopoulou et.al (2002) propose a framework for the classification of e-business models, and Betz (2002) came up with yet another taxonomy, developing six generic types of business model. Dubosson-Torbay et.al (2002), in a more detailed article than the others, present a more flexible multidimensional classification scheme. The 2003 article by Hedman and Kalling is also detailed, but again gives a static view of a business model - despite all the evidence that initial business models are often unsuccessful, and need to keep being modified until a viable model is found.



Roger Clarke (2004), in a discussion of the adoption of open-source software, created a framework for e-business models, with four questions:



1. Who pays? (consumer, producer, or third parties?)

2. What for? (e.g goods, services, expertise, assurances of quality or security.)

3. To whom?

4. Why? (e.g. perceived value, or being locked in.)



Answers to those questions, according to Clarke, would form a business model - but again, it's static.



Several writers, including Chesbrough and Rosenbloom (2002) and Magretta (2002, in the Harvard Business Review) emphasize the need for flexibility in a business model for a new enterprise, pointing out that many successful businesses change their initial model. Therefore, a model whose assumptions are transparent is more easily reviewed than a model lacking explicit linkages between its elements.



To summarize the writings on business models, most of the above papers and books focus on producing taxonomies or categorizations, or on stating what business models include or exclude. There was broad agreement between the various definitions in only two areas: that a business model (i) focuses on the mechanisms for generation of revenue in the value chain, in terms of (ii) broad principles (rather than the detail to be found in a full business plan). There was no consistent agreement on the other aspects of a business model.



However, when it comes to the question of "what does a business model actually look like?" only Chesbrough and Rosenbloom (2002) and Afuah and Tucci (2000) offer detailed descriptions - but their concepts of a business model are so detailed that others would describe such a model as a business plan.



Bearing in mind the use of the term "model" in systems theory, and that many of the above articles were from ICT-oriented journals, one might have expected to find a business model defined in systems terms - with inputs, processes, and outputs. However, of the 50-odd articles we looked at, only one by Betz (2002) used such an approach - and then only in a very general sense.

Kamis, 23 September 2010

Monetizing Your Website

Many people these days are looking for ways to "make money on the Internet". These are not people looking to take their bricks-and-mortar business online to expand, or sell things they have manufactured, but instead people who are looking to create revenue from having a website.

It's not an impossible goal, but it's not as easy as the spam e-mail you receive would have you believe. It takes real work, just like any other business, and the rewards can be somewhat shaky if you are depending on free traffic from the search engines to build your business. But done correctly, there are some tried and true ways to make your website turn a profit.

Valuable Resource

The very first thing you must do is make your site a resource. You've heard it before most likely-- what does it mean?

It means making your site useful to a specific audience- it could be a local portal site, a specific brand of car enthusiast site, a craft or hobby site, or even a political opinion site. The best thing to do is turn something you love into a resource site- you may be devoted to the conservation of a river in your area or have great ideas for keeping kids occupied during the summer-- build a site around your unique knowledge and ideas.

Site Promotion

You've built your site and it rocks- the people who visit leave you great feedback and send you e-mails about how helpful it is. You are adding to your content regularly and keeping it updated and interesting- now you need to turn up the volume on the traffic.

Search out similar and complimentary sites to your topic and let them know about your site. Send an e-mail letting them know what the value to their visitors is and ask them to include a link to your site. There may be commercial, hobby, or other resource sites that would be happy to include a link to your useful resource.

Find any forums or other venues that are complimentary to your topic and join them-- often you are allowed a signature link in your posts that will help people find your resource. Consider starting your own forum if none exist.

Send out a press release to local media and online (try www.prweb.com/ PRWeb) detailing the newsworthy aspects of your site. Write articles on your topic for redistribution on other sites (provided they include a link to the original article).

Affiliate Marketing

Now we are ready to make some money! There are many, many affiliate programs available on the web that allow you to join simply by filling out an application. The key is to find products and services your visitors want to buy.

A good place to start is (http://www.linkshare.com/) LinkShare, a sort of affiliate consolidator for many major companies. Browse their affiliate partners and be selective- only choose the ones that will appeal to your audience.

Many companies only offer their affiliate program through their site so don't overlook those programs you glanced at while looking for link partners. Knowledge goods (reports and e-books) are a great product to sell when they relate to your topic. Authors often have an affiliate program available to resellers. Make sure you DO want to recommend the product before offering it for sale.

If there aren't any knowledge goods in your chosen field, why not write your own e-book? Don't repeat general knowledge- have a reason for writing it. A helpful e-book can not only make money, but it can help establish your reputation as an expert.

If you have a newsletter or blog on your site, you can mention the affiliate products you sell for an even bigger boost in sales. Don't lower your credibility by promoting junk! Only promote those things you really believe in.

Selling Advertising
Banner Ads


Banner ads have a bad reputation, but I'm finding that highly targeted banner ads convert like crazy. If you are selling what the reader wants, they will pay attention.

Text Links

This is a slightly controversial tactic, selling text links for link popularity. As long as you are selling links to related sites, it makes sense. When you start accepting paid links from any industry, your page looks silly and in some engines (like Teoma) you confuse their linking communities, which may make your site less relevant. Be careful when accepting paid links!

Google Adsense

Apply for Google Adsense and you can be showing Google ads on your site in no time. Every time a visitor clicks one of the Google links, you earn money.

For many sites, Adsense alone can turn a hobby into a revenue-producing site.

Build a Directory

This is not a short-term quick-money strategy. But a directory can make long term revenue for you!

The problem with most industry directories is that they start out asking for payment, before they are a proven resource. Build your directory first with free listings, possibly requiring a link back in exchange. Once the content and the search engine rankings are there, THEN it's time to charge for listings.

Once you've proven to companies that your directory sends them business (with your free listings) they'll be happy to pay to remain in the directory- it's a no-brainer.

Consider giving new listings a free trial period even after you move to paid listings- your goal is to have the most comprehensive industry directory possible. Once you have that, you've achieved critical mass and it's no longer a question of "should I join" the directory, but "should I pay extra to be featured" in the directory.

Summary

Isn't there a quick way to make money from the internet anymore? Maybe -- maybe if you send enough spam mails about your low cost Viagra affiliate site, you can make enough to allow you to retire in Tahiti, but I doubt it.

Affiliate sites that do nothing but spam the search engines in an effort to gain traffic are having a harder and harder time succeeding as the engines try and deliver the best sites, not duplicates. The time spent trying to stay one step ahead of filters and algorithm changes is better spent building a resource that will grow and continue to produce revenue over time.

Selasa, 21 September 2010

Menjadi Seorang Pengambil Risiko

"There is no security on this earth. Only opportunity." - Douglas MacArthur.

Apa jadinya bila kita takut mengambil risiko dalam hidup ini? Segala yang kita lakukan pasti berisiko! Apalagi bila hendak maju dan sukses, risiko adalah sesuatu yang harus kita akrabi, bukan dihindari.

Bicara mengenai risiko, seperti kata William J. Bernstein dalam bukunya "The Four Pillars of Investing", "Risk, like pornography, is difficult to define, but we think we know it when we see it." Risiko, seperti pornografi, sukar untuk didefinisikan, tapi kita akan mengetahuinya bila kita telah melihatnya. Begitu pula risiko, kita akan mengetahui dan merasakannya bila kita telah menjalaninya.

Bila kita berani mengambil risiko, artinya kita telah berani menjalani kehidupan itu sendiri. Juga menunjukkan bahwa kita yakin akan mendapatkan suatu pelajaran berharga dari setiap risiko yang diambil. Tentu saja bukan berarti melangkah tanpa perhitungan yang matang. Satu rahasia orang-orang yang telah sukses, seperti yang mereka ungkapkan, adalah bahwa mereka sering mengambil risiko dalam bertindak.

Lantas, mengapa sebagian orang enggan untuk mengambil risiko? Jawabannya sederhana. Mereka takut gagal, berpikir tak dapat melakukannya, atau merasa belum mahir dan berbakat. Keberanian mengambil risiko, sesungguhnya lebih menunjukkan kepada karakter dan mental seseorang. Bukan pada besar kecilnya risiko yang dihadapi. Kualitas seseorang tidak ditentukan dari peristiwa yang datang menghampirinya, tapi dari respon yang ia berikan dari peristiwanya itu sendiri.

Jadi, bila kita ragu untuk melangkah karena tidak tahu apa yang akan menghadang langkah kita nantinya, beranilah untuk mengambil risiko. Beranilah untuk mengambil kesempatan yang datang demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Toh, kita tidak akan tahu apakah kita sanggup menghadapinya atau tidak, sebelum kita benar-benar mengalaminya.

Namun, sekali lagi diingatkan, berani mengambil risiko bukan berarti melakukan tindakan gegabah. Hanya karena sebagai orang berhasil menggapai kesuksesan karena tidak takut akan risiko, kita tetap harus melakukan persiapan dan pertimbangan yang matang. Agar apabila suatu saat risiko yang kita takutkan itu benar-benar terjadi, kita dapat melewatinya dengan baik. Begitulah bila kita ingin sukses dalam segala hal, kita akan selalu dihadapi dengan risiko. Risiko sangat berkaitan dengan rasa takut-takut akan timbulnya kekacauan, takut akan penilaian orang lain yang menghakimi, dan takut akan hal-hal tak terduga yang menunggu di depan sana. Hadapi rasa takut itu dan jadikanlah rasa takut sebagai motivator!

Tanpa kita sadari, banyak sekali keuntungan yang dapat kita ambil bila kita berani mengambil dan menghadapi risiko. Bila kita melakukan kesalahan, otomatis kita akan lebih bijaksana ke depannya. Bila kita sukses, kita akan belajar dan tahu besarnya kapabilitas dan potensi yang kita miliki. Dalam hal karier, saat kita berani mengambil risiko, maka hal itu akan mengantar kita menjadi seorang pemimpin dan inovator. Kunci dari semua yang telah disebutkan di atas adalah, menjadi a smart risk taker- seorang pengambil risiko yang cerdas!

Berikut ada enam cara yang ditulis oleh Beth Banks, PhD-seorang ahli di bidang leadership development, yang bisa mengantar kita menjadi salah satunya.

Percaya pada insting

Jangan menunggu sampai suatu petunjuk nyata datang kepada kita, baru mengambil keputusan, karena bisa saja petunjuk itu datang terlalu telat atau malah tidak datang sama sekali. Kalaupun ada petunjuk yang sangat baik, bukan hanya kita saja yang mengetahuinya, tetapi juga orang lain yang mungkin memiliki tujuan yang sama. Saat ide brilian menghampiri, jangan banyak membuang waktu, langsung realisasikan dan kerjakan saat itu juga! Percaya pada apa kata hati.

Jangan takut untuk meminta bantuan

Bila memang kita sedang menghadapi suatu hal yang memang kita kurang pahami, sedangkan sesuatu itu bisa membawa kemajuan besar menuju apa yang kita ingin capai, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada yang lebih ahli. Bila kita terus terjebak dalam rasa takut akan risiko-takut bila meminta bantuan kepada orang lain, maka kemampuan kita akan diremehkan, maka kita tidak akan pernah bisa maju.

Lepaskan energi positif

Rasa takut, stres, dan ketidakpastian bisa kita jadikan "teman", bukan musuh yang harus dihindari, asalkan kita memperlakukannya sebagai motivasi, bukan sebagai penghalang. Biasakan untuk menolelir perasaan-perasaan itu. Selalu ingatkan kepada diri sendiri, bahwa kemajuan tidak akan datang bila kita tidak melangkah maju ke keadaan yang penuh ketidakpastian.

Antisipasi dan tindakan

Tidak membuat suatu keputusan sebenarnya adalah sebuah keputusan, yang buruk tentunya. Berpikirlah seperti seorang atlet, dan belajar untuk menempatkan diri bahwa aksi dan tindakan diperlukan untuk mencapai suatu prestasi.

Belajar dari Kegagalan

Pelajaran yang paling berharga dalam hidup kita adalah apa yang dihasilkan dari sebuah kegagalan. Orang-orang bisa menjadi sangat pemaaf bila kita benar-benar sudah melakukan yang terbaik dan bersikap penuh dengan integritas.

Realistis

Memang, terkadang ide-ide dan mimpi yang superfantastis akan terlihat sangat bagus di atas kertas, tetapi kenyataan tidak semudah menulis di atas selembar kertas. Saat kita sudah merasa siap untuk mengambil risiko, pikirkan tentang alasan yang masuk akal mengapa kita akan melakukannya.

Ada beberapa halangan yang bisa membuat kita mengurungkan niat untuk menjadi seorang pengambil risiko. Mungkin, dengan mengetahui apa saja halangan/perasaan itu, kita bisa jadi lebih siap dan tidak berubah pikiran untuk melangkah maju demi mencapai apa yang kita inginkan, walaupun ada risiko yang menghadang!

- Rasa takut akan penolakan
- Takut tidak mendapatkan persetujuan
- Perasaan bersalah
- Keinginan untuk selalu benar
- Ketidakpastian
- Rasa takut diremehkan
- Menghindari konflik
- Takut akan kegagalan
- "Bermain" aman
- Takut akan menyakiti orang lain.

Sabtu, 18 September 2010

6 Kalimat yang Harus Dihindari dalam Menulis Sales Penjualan Di Website

Menulis Sales letter (surat penawaran penjualan/copywriting) merupakan pekerjaan yang sulit bagi kebanyakan orang. Setiap orang yang berniat menulis lamaran, artikel, teks iklan dan bahkan surat cinta, ingin tulisannya tersebut menarik dan enak dibaca. Banyak orang menganggap, keahlian seorang copywriting didapat dari bakat seseorang. Tidak salah, namun apa salahnya kalau keahlian copywriting dapat dipelajari. Keinginan setiap orang agar hasil dari copywriting yang dibuatnya menarik dan enak dibaca, tentu bukan keinginan khayal yang tidak dapat dipenuhi. Dengan sedikit tips dan trik, setiap orang mampu mendapat hasil copywriting seperti yang diharapkan.
Di bawah ini 6 kalimat yang harus dihindari dalam copywriting, agar memikat hati pembacanya.

1. Hindari kalimat cari aman
Kalimat seperti, “Di tahun 2010, hampir semua lulusan SMA mengerti internet”, sering ditemukan dalam hasil copywriting.
Kata “hampir semua” dalam kalimat tersebut terkesan cari aman. Kata tersebut menggambarkan penulis sendiri meragukan validitas data yang dimilikinya. Bandingkan apabila kalimat tersebut dirubah menjadi, “Di tahun 2010, lulusan SMA mengerti internet.”

2. Hindari kalimat pasif
Kalimat pasif dalam copywriting, seperti “Garansi seumur hidup akan diberikan oleh kami” sesungguhnya membuang-buang kata tanpa tambahan informasi yang berarti.
Bukankah lebih baik untuk menulis, “Kami berikan garansi seumur hidup.”
Kalimatnya lebih tajam dan efektif.

3. Hindari kalimat bertele-tele
Banyak hasil copywriting yang tidak enak dibaca karena kalimatnya bertele-tele, tidak to-the-point.
Padahal copywriting diharapkan menarik hati pembacanya. Jadi untuk apa membuat copywriting berjumlah halaman tebal, namun tidak enak dibaca.
Copywriting yang baik lebih mementingkan isi dan hasil, dibanding kulit dan kuantitas.
Copywriting yang baik difokuskan pada bagaimana caranya agar pembaca segera memberikan reaksi. Jadi apabila kalimatnya bertele-tele, kapan pembaca akan bereaksi?

4. Hindari panjang kalimat yang berlebihan
Kalimat pendek dalam copywriting lebih enak dibaca. Selain itu lebih mudah dicerna.
Kalimat copywriting yang mencantumkan keterangan di tengahnya, selalu panjang.
Perhatikan contoh berikut, “Thomas Alfa Edison–yang mana merupakan penemu lampu bohlam–meninggal dunia tahun 1884.
Argumen atau keterangan tidak perlu disisipkan di tengah kalimat.
Lebih baik menggunakan kalimat, “Thomas Alfa Edison adalah penemu lampu bohlam.”
Kalimat berikutnya, “Beliau meninggal dunia tahun 1884.” Lebih enak dibaca dan mudah dicerna.

5. Hindari kalimat terlalu formal
Copywriting yang paling enak dibaca adalah yang membuat pembacanya akrab.
Kalimat formal yang kaku harus dihindari dalam copywriting. Pergunakan kalimat informal, yang mengajak pembacanya lebih dekat dan akrab. Bubuhkan canda apabila diperlukan. Pergunakan kalimat seperti anda sedang berbicara dengan pembaca.
Penggunaan kalimat informal sering dianggap tidak professional. Namun harus diingat, dalam apa kalimat tersebut dipergunakan.
Apakah hasil copywriting digunakan untuk surat penawaran merger perusahaan, atau surat perjanjian notaris?
Apabila bukan, apa salahnya kalau kita gunakan kalimat informal. Toh hasil copywriting ditujukan untuk mendekatkan diri dengan pembacanya.

6. Hindari kalimat petikan
Copywriting yang baik adalah yang menggunakan kalimat sendiri. Aspek unik dan orisinil akan memberikan nilai lebih bagi hasil copywriting.
Kalimat, apalagi yang telah menjadi trademark orang lain, tidak dibutuhkan dalam copywriting. Selama hasil copywriting valid dan enak dibaca, apa gunanya mencantumkan petikan. Bobot copywriting bukan pada banyaknya petikan, namun pada banyaknya poin yang dapat dicerna pembacanya.
Sebagai contoh, kita mengerjakan copywriting berupa e-mail iklan yang berisi testimoni konsumen mengenai suatu produk. Apakah kita harus menyertakan puluhan testimoni dalam e-mail tersebut?
Yang menjadi tujuan e-mail iklan tersebut adalah mengundang reaksi pembacanya. Puluhan petikan testimoni hanya akan membuat tertegun pembacanya. Responnya? Diragukan!
Sekali lagi, bobot hasil copywriting bukan pada jumlah petikan yang dimilikinya. Akan lebih berbobot apabila kita lebih memperhatikan bagaimana cara menulis petikan agar menjadi menarik.

Silahkan di coba ya tips diatas, sukses untuk Anda

Sumber: http://kayadaribisnisinternet.com/rahasia-menulis-sales-penjualan-di-website/

Kamis, 16 September 2010

Menempa Jiwa Wirausaha

Indonesia kering wirausahawan (entrepreneur). Padahal para wirausahawan inilah yang menjadi fasilitator bagi kemajuan ekonomi sebuah negara. Menurut Pak Ci (Ciputra, chairman kelompok usaha Ciputra), Indonesia membutuhkan setidaknya 2% penduduknya menjadi wirausaha untuk menopang kemajuan ekonomi. Padahal saat ini hanya terdapat sekitar 0,8% penduduk Indonesia yang menjadi wirausahawan.

Entrepreneurship pada galibnya adalah upaya menciptakan nilai tambah, dengan menangkap peluang bisnis dan mengelola sumber daya untuk mewujudkannya. Tentu harus disertai pengambilan risiko dalam porsi yang tepat.

Lantas jika ingin mencetak wirausahawan yang tangguh dalam jumlah jutaan 1% saja dari penduduk Indonesia sudah di atas 2 juta orang faktor-faktor apa sajakah yang perlu dipertimbangkan? Sifat-sifat kewirausahaan seseorang dibentuk oleh atribut-atribut personal dan lingkungan.

Faktor lingkungan mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan jiwa kewirausahaan. Salah satu faktor lingkungan yang berperan besar dalam membentuk jiwa kewirausahaan adalah budaya.

Kita bisa melihat secara kasat mata, suku tertentu di Indonesia, seperti dari Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan mempunyai 'bakat' wirausaha. Karena dalam budaya tersimpan nilai-nilai yang diwariskan, dan nilai adalah 'apa yang dianggap baik'.

Tatkala kewirausahaan dianggap mulia dalam sistem nilai sebuah budaya, seorang wirausahawan mendapat tempat terhormat dalam budaya tersebut. Budaya tersebut akan menjadi 'produsen' wiraswasta. Sementara dalam budaya lain yang menempatkan pekerjaan wirausaha kurang bergengsi, kurang produktif dalam menghasilkan wirausaha.

Para perantau, biasanya juga memiliki dorongan lebih untuk berwirausaha. Orang Minang, Tionghoa dan India perantauan tampak lebih menonjol daripada mereka yang di daerah asalnya.

Role model merupakan hal yang sangat penting karena dengan mengetahui serta memahami kisah-kisah para wirausahawan yang telah meraih kesuksesan menjadikan cita-cita seseorang untuk membuka usahanya sendiri menjadi lebih kredibel dan terjustifikasi.

Calon wirausaha pada umumnya menemukan role model di rumah ataupun di tempat kerja. Bila seseorang banyak berhubungan serta bergaul dengan para wirausahawan, maka ada kemungkinan dia juga akan tertarik untuk memilih jalan hidup sebagai seorang wirausahawan.

Di samping faktor di atas, terdapat faktor sosiologis yang mendorong berkembangnya jiwa kewirausahaan. Salah satunya adalah tanggungjawab keluarga, yang memainkan peranan penting dalam menghasilkan keputusan untuk memulai usaha sendiri.

Adalah relatif lebih mudah untuk mulai menjalankan bisnis pada saat seseorang berusia relatif masih muda, lajang, serta tidak memiliki banyak aset pribadi. Bila dia gagal meraih kesuksesan sebagai seorang wirausahawan, maka masih terbuka peluang baginya untuk membangun karir dan pekerjaannya di perusahaan lain. Artinya lajang dan berusia muda memiliki hambatan psikologis yang rendah untuk berwirausaha. Lebih nekad!

Ada pula trade off antara pengalaman yang bertambah seiring dengan pertambahan usia dengan rasa optimistis dan energi yang dimiliki. Semakin bertambah usianya tentu semakin banyak pengalaman yang diperoleh, semakin luas jejaringnya dan seharusnya semakin percaya diri.

Namun kadang-kadang jika telah berada dalam sebuah industri dalam waktu yang lama, seseorang akan meyakini kesulitan yang bakal muncul bila memutuskan untuk memulai bisnis sendiri. Maka, rasa pesimis pun muncul dan tidak lagi nekad.

Namun dapat terjadi sebaliknya, pengalaman dan jejaring yang luas akan membuat rasa percaya diri merasa lebih merasa optimis untuk memilih wirausaha. Di sini karakter personal yang berbicara.

Karakteristik personal

Karakteristik personal dapat mengalahkan faktor lingkungan. Ambil contoh Bill Gates. Lingkungan keluarga pengacara telah membimbingnya untuk menekuni bidang hukum di Universitas bergengsi, Harvard. Dia sedang merintis jalan untuk mengikuti tradisi keluarganya, menjadi pengacara, pada saat dia dropped out dari Harvard dan mendirikan Microsoft. Dalam kasus Bill Gates, sisi karakteristik personal lebih menonjol.

Dari sisi ini, seorang wirausahawan memiliki focus of control internal yang lebih tinggi ketimbang seorang nonwirausahawan, yang berarti mereka memiliki keinginan kuat untuk menentukan nasib sendiri.

Sebuah survei yang dilakukan terhadap pemilik usaha kecil di Inggris menemukan bahwa lebih dari 50% responden mengatakan bahwa independensi merupakan motif utama saat mereka memutuskan mendirikan usaha sendiri.

Hanya 18% yang mengemukakan alasan untuk menghasilkan uang, sedangkan sisanya sebesar 10% menyebutkan ber-bagai alasan seperti kesenangan, tantangan, memberikan ruang lebih bagi kreativitas, dan kepuasan personal.

Karakteristik personal lainnya adalah kebutuhan untuk mengendalikan. Kebanyakan para wirausahawan adalah orang yang sulit untuk menerima kendali serta otoritas orang lain terhadap diri mereka.

Menurut Derek Du Toit, banyak wirausahawan yang membangun bisnisnya sendiri sebelumnya merupakan karyawan dari sebuah organisasi, namun mereka memiliki sifat sulit diatur.

Keputusan berwirausaha dapat dipengaruhi oleh faktor personal maupun faktor lingkungan. Wirausahawan seringkali memutuskan untuk memulai usahanya sendiri karena mereka adalah para high achiever yang merasa bahwa karir mereka sulit berkembang dalam perusahaan tempat mereka bekerja ataupun profesi yang mereka tekuni.

Banyak wirausahawan yang bekerja selama beberapa waktu dalam sebuah perusahaan guna memperkuat jejaring, meningkatkan sumber daya dan pengalaman sebelum membuka bisnis mereka sendiri.

Sumber : http://klikilmu.blogspot.com/2008/03/menempa-jiwa-wirausaha.html

Selasa, 14 September 2010

Menjadi Pribadi Sukses

Untuk menjadi sukses dalam kehidupan (sukses dalam pekerjaan, karir, bisnis, dan keluarga), kita perlu memiliki suatu karakter tertentu, juga perlu memiliki cara berpikir tertentu yang mengacu kepada prinsip-prinsip keberhasilan. Inilah prinsip yang perlu dipelajari:

1) KESADARAN AKAN ARAH.

Bagaimana mungkin kita bisa sukses kalau kita sendiri tidak tahu arah yang ingin dituju. Tanpa tujuan, sudah pasti kita akan bingung: tidak tahu apa yang akan kita kerjakan dan untuk apa mengerjakannya!

Orang yang sukses tentunya memiliki tujuan yang realistis, jelas, pasti, dan diyakini dengan segenap hati.

2) KEJERNIHAN PIKIRAN

Kejernihan pikiran sangat penting dalam menjalani kehidupan yang sukses, sebab ibarat sebuah mobil, ketika kita mengendarai mobil, pandangan di depan haruslah jernih sehingga kita dapat melihat ke depan sebagaimana adanya tanpa ada halangan apa pun. Maka kita dapat mengarahkan mobil pada arah yang tetap dan selamat sampai ke tujuan.

Bila kita memiliki kejernihan pikiran, kita akan mampu melihat kebenaran. Sebab kita harus mengerjakan apa yang benar, bukan membenarkan apa yang kita lakukan.

3) KEBERANIAN

Mempunyai sasaran serta memahami situasinya belumlah cukup. Anda harus mempunyai keberanian untuk bertindak, sebab hanya dengan tindakanlah sasaran itu dapat diubah menjadi kenyataan.

Perbedaan antara orang yang sukses dan gagal bukanlah kemampuan yang lebih baik atau ide yang lebih baik, melainkan keberanian untuk bertaruh atas ide-idenya sendiri, dan mengambil risiko yang diperhitungkan, serta bertindak.

4) MEMBERI

Kepribadian-kepribadian sukses itu: menghormati dan memperlakukan sesamanya sebagai manusia, daripada objek belaka. "Memberi" ibarat menanam bibit pada sebidang tanah yang subur, dan suatu saat bibit yang Anda tanam itu akan tumbuh pohon yang besar dan menghasilkan buah-buah manis.

Biasakan diri Anda untuk memberi. Pertama, berikan nilai tambah bagi orang lain. Kedua, berikan peningkatan hidup bagi orang lain. Dan ketiga, berikan manfaat bagi orang lain, yang sebesar-besarnya sesuai dengan kemampuan yang Anda miliki.

5) HARGA DIRI

Pribadi yang sukses itu memiliki self-esteem yang sehat, di mana mereka tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah, tidak suka mengeluh, tidak suka mengkritik atau menjelekkan orang lain, mampu berlapang hati ketika menghadapi kegagalan serta mampu bersabar dalam menghadapi hambatan.

6) KEPERCAYAAN DIRI

Kepercayaan diri dibangun atas pengalaman sukses. Selain itu, kepercayaan diri bisa tumbuh bila kita mulai membentuk kebiasaan mengingat sukses-sukses di masa lalu dan melupakan kegagalan-kegagalan di masa lalu.

7) PENERIMAAN DIRI

Tidak ada sukses sejati atau kebahagiaan sejati sebelum kita bisa menerima diri sendiri. Kita akan merasa lega atau puas ketika bersedia menanggalkan segala kepura-puraan dan mau menjadi diri sendiri.

Sukses datang ketika kita bersedia rileks dan menjadi diri sendiri, bukan ketika kitaberupaya keras menjadi orang lain. Penerimaan diri artinya menerima diri kita sekarang, apa adanya, dengan segala kesalahan, kelemahan, kekurangan, kekeliruan serta kekuatan, dan kelebihan kita.

Salam Bahagia dan Sejahtera!

Sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/Artikel_Tetap/3534/Menjadi_Pribadi_Sukses/

Richard Branson: Five Secrets to Business Success

I am often asked if I have found a secret – or at least a consistent answer – to successfully building businesses over my career.

So I’ve spent some time thinking about what characterizes so many of Virgin’s successful ventures and, importantly, what went wrong when we did not get it right. Reflecting across 40 years I have come up with five “secrets.”

No. 1: Enjoy What You Are Doing.
Because starting a business is a huge amount of hard work, requiring a great deal of time, you had better enjoy it. When I started Virgin from a basement flat in West London, I did not set out to build a business empire. I set out to create something I enjoyed that would pay the bills.

There was no great plan or strategy. The name itself was thought up on the hoof. One night some friends and I were chatting over a few drinks and decided to call our group Virgin, as we were all new to business. The name stuck and had a certain ring to it.

For me, building a business is all about doing something to be proud of, bringing talented people together and creating something that’s going to make a real difference to other people’s lives.

A businesswoman or a businessman is not unlike an artist. What you have when you start a company is a blank canvas; you have to fill it. Just as a good artist has to get every single detail right on that canvas, a businessman or businesswoman has to get every single little thing right when first setting up in business in order to succeed. However, unlike a work of art
, the business is never finished. It constantly evolves.

If a businessperson sets out to make a real difference to other people’s lives, and achieves that, he or she will be able to pay the bills and have a successful business to boot.

No. 2: Create Something That Stands Out.
Whether you have a product, a service or a brand, it is not easy to start a company and to survive and thrive in the modern world. In fact, you’ve got to do something radically different to make a mark today.

Look at the most successful businesses of the past 20 years. Microsoft, Google or Apple, for example, shook up a sector by doing something that hadn’t ever been done and by continually innovating. They are now among the dominant forces.

No. 3: Create Something That Everybody Who Works for You is Really Proud of.
Businesses generally consist of a group of people, and they are your biggest assets.

No. 4: Be a Good Leader.
As a leader you have to be a really good listener. You need to know your own mind but there is no point in imposing your views on others without some debate. No one has a monopoly on good ideas or good advice.

Get out there, listen to people, draw people out and learn from them. As a leader you’ve also got to be extremely good at praising people. Never openly criticize people; never lose your temper, and always lavish praise on your colleagues for a job well done.

People flourish if they’re praised. Usually they don’t need to be told when they’ve done wrong because most of the time they know it. If somebody is not working out, don’t automatically throw him or her out of the company. A company should genuinely be a family. So see if there’s another job within the company that suits them better. On most occasions you’ll find something for every single kind of personality.

No. 5: Be Visible.
A good leader does not get stuck behind a desk. I’ve never worked in an office – I’ve always worked from home – but I get out and about, meeting people. It seems I am traveling all the time but I always have a notebook in my back pocket to jot down questions, concerns or good ideas.

If I’m on a Virgin Atlantic plane, I make certain to get out and meet all the staff and many of the passengers. If you meet a group of Virgin Atlantic crew members, you are going to have at least 10 suggestions or ideas. If I don’t write them down, I may remember only one the next day. By writing
them down, I remember all 10. Get out and shake hands with all the passengers on the plane, and again, there are going to be people who had a problem or have a suggestion. Write it down, make sure that you get their names, get their e-mail addresses, and make sure the next day that you respond to them.

Of course, I try to make sure that we appoint managing directors who have the same philosophy. That way we can run a large group of companies in the same way a small business owner runs a family business – keeping it responsive and friendly.

When you’re building a business from scratch, the key word for many years is “survival.” It’s tough to survive. In the beginning you haven’t got the time or energy to worry about saving the world. You’ve just got to fight to make sure you can look after your bank manager and be able to pay the bills. Literally, your full concentration has to be on surviving.

Obviously, if you don’t survive, just remember that most businesses fail and the best lessons are usually learned from failure. You must not get too dispirited. Just get back up and try again.

© 2010 Richard Branson
Reference: http://www.entrepreneur.com/article/217284

Senin, 13 September 2010

Belajar Memaafkan

"To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you. - Memaafkan sama dengan membebaskan seorang tahanan dan mendapati bahwa tahanan tersebut adalah diri Anda sendiri.(Lewis Benedictus Smedes (1921-2002); penulis & profesor teologi di California, USA.

Kita mungkin selalu berpikir bahwa kita hanya bisa belajar dari mereka yang baik pada kita. Padahal sebenarnya kita dapat belajar hal berharga dari mereka yang telah melukai dan menghancurkan hati kita. Berikut ini kisah tentang Azmi Khamisa, orang yang sangat saya kagumi kebesaran hatinya memaafkan orang yang telah membunuh putra yang sangat ia sayangi, Tariq Khamisa.

Kesedihan Azmi bermula dari kejadian pembunuhan terhadap putranya pada tanggal 21 Januari 1995. Tony Hick menodongkan senjata api pada Tariq karena sakit hati Tariq menolak menyerahkan piza secara gratis. Tariq tewas di tangan Tony Hick.

Hebatnya, Azmi Khamisa memilih untuk memaafkan dan berdamai. "I tooka different response to this tragedy. Saya ingin merespon tragedi ini dengan cara berbeda," katanya. Dalam sebuah acara High Performance Leadership Program IMD, pria tersebut juga mengatakan bahwa ia tak perlu menuntut. Sebab Tariq maupun Tony sama-sama menjadi korban dua sisi senjata api yang berbeda.

Azmi berbesar hati menemui kakek Tony, Ples Felix, untuk menyampaikan bahwa ia sudah memaafkan Tony. Kebesaran hati pria tersebut membuat Ples Felix tergerak hati mendukung didirikannya yayasan Tariq Khamisa Foundation (TKF). Yayasan yang didirikan pada Oktober 1995 itu ditujukan khusus untuk memutuskan mata rantai kejahatan anak-anak dengan memberikan pendidikan tentang pentingnya membuat pilihan hidup yang tepat. Bahkan Tony bertekad untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendukung yayasan tersebut kelak jika ia keluar dari penjara.

Sejak didirikan, yayasan tersebut setiap tahun mendidik lebih dari 20.000 orang.Kontribusi yayasan tersebut terhadap kaum muda telah banyak dirasakan manfaatnya, sebab semakin banyak anak muda sudah mampu membuat keputusan positif dan mencegah terjadinya tindak kejahatan. Dengan cara memaafkan dan berkontribusi melalui yayasan TKF, Azim mampu melewati masa sulit dan kembali menemui kebahagiaaan lagi.

"Forgiveness issomething you do for yourself. If I did not forgive Tony I would be very angry at him and if I am angry who does it hurt? Myself. Memaafkan adalah hadiah untuk diri sendiri. Jika saya tidak memaafkan Tony mungkin saya akan sangat benci dia, dan jika saya terus marah lalu siapa yang terluka? Saya sendiri (yang terluka)" katanya.

Azmi merasa memaafkan menjadikan pikiran, perasaan, dan sikapnya lebih positif. Kenyataannya, memaafkan memang jauh lebih bermanfaat bagi kesehatan mental maupun fisik, yaitu sistem kekebalan tubuh lebih kuat dan hormon yang memicu stres berkurang, hubungan sosial dan lingkungan kehidupan juga menjadi lebih baik. Masih banyak lagi keuntungan yang dapat kita petik dan cukup menjadi landasan kuat mengapa sebaiknya kita melepaskan kemarahan dan saling memaafkan.

Memaafkan memang bukan hal yang mudah dilakukan dan tidak dapat dipaksakan. "Forgiveness, like love, can't be forced. Memaafkan sama dengan cinta, tak dapat dipaksakan," kata Frederic Luskin, PhD, director of the Stanford University Forgiveness Project dan penulis "Forgive For Good: A Proven Prescription for Health and Happiness".

Tetapi ada beberapa hal yang mungkin dapat melatih kita mudah memaafkan, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama adalah fokus pada hal-hal atau kejadian-kejadian yang positif, karena dapat menciptakan pengalaman yang mendorong kita untuk bersedia memaafkan. Tetapi bila kita mempertahankan rasa sakit karena disakiti orang lain, lambat laun kekuatan alamiah fisik maupun spiritual kita akan hancur dan menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam pengalaman yang lebih berat. Oleh sebab itu, berusahalah melihat kebenaran dan sisi positif dari segala hal. Memang butuh perjuangan, tetapi dengan cara itu kehidupan kita akan lebih menyenangkan.

Kedua adalah melakukan manajemen stres, dengan cara meditasi, mengambil nafas panjang, relaksasi, dan lain sebagainya. Kita boleh berharap memiliki segala yang kita inginkan, tetapi apa daya kenyataan memberi apa yang kita miliki saat ini. Bermacam cara manajemen stres seperti itu akan membantu kita menerima dengan ikhlas situasi apapun yang sedang kita alami dan bersabar menghadapi tantangan berikutnya.

Ketiga adalah mendalami nilai-nilai agama yang dianut, dengan beribadah dan berdoa sekaligus melaksanakannya. Kekuatan spiritual memudahkan kita bersyukur atas segala yang masih kita miliki, berserah dan berpikir positif atas kehendak Tuhan YME. Bila kita tekun menjalankan langkah ini maka kita akan mudah melupakan kesalahan orang lain, mendapatkan ketenangan pikiran dan kebahagiaan, serta mampu bertindak lebih positif.

Keempat adalah berempati yaitu mencoba membayangkan keadaan orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita dan berusaha memakluminya. Cara ini butuh kesabaran dan mungkin sedikit sulit. Tetapi cara ini setidaknya membantu kita agar tidak menjadi korban rasa sedih, marah, kecewa, dan bermacam perasaan menyedihkan lainnya.

Kemarahan dapat memicu stres, hipertensi, sakit jantung, berbagai penyakit dan perasaan negatif lainnya. Jika kita mampu mengubah kemarahan menjadi memaafkan, itu akan memberi kekuatan pada kita untuk melakukan lebih banyak tindakan positif dan rasa percaya diri menatap masa depan. Bagaimanapun juga memaafkan akan membuat diri kita menjadi jauh lebih baik. Jadi jangan pernah berhenti untuk belajar, terutama belajar memaafkan.
____
*Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller. Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com
Sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/Artikel_Tetap/3570/Belajar_Memaafkan/

Senin, 06 September 2010

From Nervous To Self Confidence

Oleh : Ade Asep Syarifuddin

UNTUK menjadi pribadi yang sukses, menyenangkan, pandai bergaul dibutuhkan rasa percaya diri yang tinggi. Kadang kita terkagum-kagum melihat orang piawai berpidato di depan podium. Kata-katanya berapi-api mempengaruhi massa untuk mengikuti jalan pikirannya. Tidak semua orang pandai bergaul, pintar berkomunikasi baik di podium maupun inter personal. Jauh di ujung sana masih banyak orang yang minder untuk bertemu dengan orang banyak, kaku dalam berbicara bahkan sampai bersimbah peluh hanya ketika diajak ngobrol dengan seseorang. Jangankan untuk berargumentasi dan beradu pendapat, jangankan dengan mudah mengucapkan maksud hati. Bertahan di depan orang tersebut saja sudah untung. Ingin rasanya melarikan diri dan mencari tempat sepi. nervous... nervous.

Apakah Anda termasuk orang yang demikian? Sukurlah kalau tidak, berarti sudah terjadi lompatan kualitas mental dalam berkomunikasi. Tapi orang yang masih gugup menghadapi orang, jumlahnya masih cukup banyak. Saya sendiri ketika usia-usia SMA sampai awal-awal perkuliahan masih mengalami nervous, grogi alias deg-degan dan keringetan kalau menghadapi orang. Apalagi yang dihadapi adalah cewek atau orang yang berpengaruh. Wah rasanya ingin melarikan diri saja secepatnya. Sebenarnya apa yang terjadi saat itu?

Dilihat dari pola pergaulan, saya termasuk orang introvet. Istilah anak muda sekarang gak gaul lah.... Aktifitas sehari-hari sudah ada dalam program yang jelas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan dalam jadwal tersebut tidak mencantumkan bermain dengan teman-teman. Semuanya belajar dan bekerja. Rasanya ketika duduk di belakang meja dan baca buku, saat-saat itulah waktu yang paling membahagiakan. Secara prestasi akademis memang diakui berada di atas rata-rata teman-teman yang lain. Teman-teman selalu meminta contekan kalau sedang ulangan atau ujian semesteran. Di balik nervous dalam bergaul tersebut saya sedikit "Pede" di dalam kelas.
Tetapi ketika ke luar kelas, lagi-lagi penyakit minder tersebut menemani hari-hariku. Hanya self talk (berbicara kepada diri sendiri) yang kurang pas saat itu yang keluar ketika melihat betapa asiknya teman-teman ngobrol dengan orang-orang baru. Saya bergumam, "Biarlah mereka pandai bergaul, tapi kalau ujian kan nyontek juga ke saya."

Salah satu upaya untuk membuat percaya diri saya sering ngobrol di depan cermin sambil melihat ekspresi ketika berbicara. "Lumayan juga nih gue bisa ngomong agak bener," tuturku dalam hati. Waktu itu ayah saya setiap minggu punya jadwal ceramah di majelis taklim. Karena berbagai kesibukan akhirnya saya yang harus menggantikan. Untung yang hadir saat itu adalah ibu-ibu yang memiliki pengetahuan pas-pasan. Kalau salah-salah dikit tidak mungkin protes. Kegiatan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sampai sekitar 3 tahun. Dari situ percaya diri saya naik sekitar 50%. Kok 50% mengapa? Benar, hanya 50%, karena ketika harus komunikasi inter personal lagi-lagi saya tidak bisa berkutik. Kembali nervous itu muncul. Dalam pikiran saya orang lain terlihat jauh lebih hebat ketimbang saya. Wah... capek deh...

Setelah dilihat secara seksama, persoalannya terletak pada beberapa hal yang keliru. Misalnya saja, saya tidak terlalu menghargai diri saya sendiri. Artinya, saya menilai diri tidak secara utuh. Benar setiap orang ada plus dan minusnya, tapi yang terlihat saat itu adalah segala yang minus tentang diri saya (kecuali prestasi akademis). Citra diri masih belum utuh, apalagi harga diri. Akhirnya tidak memunculkan rasa percaya diri. Ada pengalaman lucu kalau dipikir sekarang. Saat itu mau berangkat sekolah (SMA) memakai angkutan umum. Karena saya ingin belajar ngobrol, maka saya meniatkan diri untuk bertanya kepada orang yang berada di samping. Ketika dilihat ternyata dia anak SMA juga dan cewek. Niat untuk bertanya dihentikan, jangan-jangan dia tidak akan menjawab pertanyaan saya. Tapi muncul kembali keinginan untuk menyapa sebagai latihan ngobrol. Demikian terus menerus keinginan untuk ngobrol dan rasa tidak pede muncul secara bergantian. Sampai mobil tersebut berhenti dan saya turun tidak satu kata pun keluar dari mulut saya. Ada kelegaan yang terasa ketika turun, persis seperti selesai menghadapi debt collector yang sangat seram.

Waktu demi waktu persoalan self confidence masih tetap mengganggu. Sampai suatu ketika saya belajar tentang buku-buku sukses. Di dalamnya mengkaji tentang percaya diri. Percaya diri tidak muncul begitu saja, bukan karena mempunyai sesuatu seperti mengenakan pakaian yang bagus, dandanan yang oke dll. Percaya diri ada pada penghargaan yang sama baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Dalam al Quran sendiri orang yang paling mulia adalah yang paling takwa. Selain itu hormatilah sesama, hormatilah diri sendiri, hormatilah alam, hormatilah siapa saja yang harus kita hormati. Tapi di samping itu memang latihan terus menerus dengan cara bertemu dengan orang yang berbeda setiap hari menjadi titik kunci yang paling penting. Yang harus diingat dalam mengubah watak, apabila ada sesuatu yang kita 'takuti', maka yang ditakuti tersebut harus didekati. Kalau takut kepada orang untuk berkomunikasi, maka mulailah untuk berkomunikasi dari sekarang. Tidak peduli apakah keringetan, gemeteran, nervous. Memang kalau ketemu orang harus disiapin juga mau bicara apa dengan orang tersebut supaya langsung bisa nyambung. Tapi dengan latihan secara terus menerus maka hal itu bisa dilampaui.

Dulu saya yang grogi, nervous dll, sekarang paling suka ngomong di forum, paling senang ngerjain orang, paling pede kalau humor dengan teman-teman. Ketika membayangkan dulu saat-saat kegrogian masih menjadi teman sehari-hari rasanya tidak percaya kalau sekarang bisa se-pede ini. Bagi yang belum menemukan self confidence, jangan khawatir. Banyak orang yang mengalami hal tersebut tapi kemudian bisa lolos dari kubangan nervous. Asalkan mau belajar dan memulai untuk berkomunikasi. (*)

*) Penulis General Manager Harian Radar Pekalongan.
Sumber : http://langitbirupekalongan.blogspot.com/2008/11/from-nervous-to-self-confidence.html