Energi sudah menjadi salah satu kebutuhan wajib dalam kehidupan masyarakat. Persoalannya, sumber daya energi saat ini terus menipis. Kini, orang berlomba-lomba mencari alternatif sumber energi yang ramah lingkungan. Salah satunya briket sawdust dari serbuk kayu.
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia membuat bangsa ini sangat bergantung pada sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Contohnya, kebutuhan terhadap minyak tanah untuk kebutuhan rumahtangga, seperti memasak dan penerangan.
Sejak zaman baheula, masyarakat kita sangat bergantung pada bahan bakar yang berasal dari fosil itu. Memang, untuk menekan laju konsumsi minyak tanah, sejak beberapa tahun lalu pemerintah menggelar program konversi penggunaan minyak tanah ke bahan bakar gas elpiji. Namun, cepat atau lambat, sumber energi ini juga akan habis.
Nah, salah satu produk yang bisa menjadi sumber energi alternatif terbarukan tanpa merusak lingkungan adalah briket sawdust. Briket yang terbuat dari serbuk kayu ini bisa menjadi solusi alternatif untuk memasak. Menurut Agus Setiawan, pemilik CV BJ, distributor briket sawdust di Bandung, Jawa Barat, briket ini adalah produk ramah lingkungan. Pasalnya, briket sawdust terbuat dari limbah penggergajian kayu, yang biasanya tidak digunakan lagi.
Selain berasal dari limbah yang didaur ulang, briket sawdust juga tidak mengeluarkan asap alias smokeless. So, udara di lingkungan sekitar rumah tetap bersih. Keunggulan lainnya, kata Agus, briket sawdust yang bahan bakunya berasal dari kayu keras bisa menghasilkan kalori cukup tinggi. Berkisar 7.000-8.000 kalori.
Sementara, kalau dari bahan kayu lunak menghasilkan 6.500 kalori. Dengan kalori sebesar itu, briket sawdust dapat menghasilkan energi panas yang tinggi. Selain itu, briket ini juga tidak berbahaya lantaran tidak mudah terbakar. Untuk bisa diolah sebagai sumber energi buat memasak, hanya butuh waktu pembakaran selama 20 menit. "Bau yang dihasilkan dari pembakaran pun khas, dan cenderung ke wangi makanan," katanya.
Dengan berbagai keunggulan tersebut, jangan heran, jika briket sawdust sangat diminati oleh pasar ekspor, terutama Korea Selatan. Simak saja komentar Latifah, salah satu produsen briket sawdust di Jakarta. Dia bilang, briket sawdust lebih menyasar pasar ekspor ketimbang pasar domestik. Pasar terbesarnya adalah Korea dan Jepang.
Tingginya permintaan briket sawdust di sana lantaran kedua negara Asia itu bercuaca dingin. "Briket sawdust biasanya digunakan untuk bahan bakar penghangat ruangan rumah," ujar Latifah. Dia bilang, dalam sebulan mampu memproduksi briket sawdust sebanyak 40 ton. Kemudian, produk itu dijual ke Korea seharga Rp 5.000 per kilogram. Dus, omzet yang bisa diraupnya mencapai Rp 100 juta per bulan.
Agus menimpali, sebagian besar penduduk di Korea menggunakan briket sawdust sebagai bahan bakar untuk memasak barbeku. "Orang Korea sangat menggemari barbeku. Di sana, setiap lima rumah terdapat restoran yang menggunakan briket sawdust sebagai bahan bakar kompornya," imbuhnya.
Keistimewaan lain briket sawdust untuk memanggang terletak pada baunya yang khas. Bau kayu dari briket yang terbakar mirip dengan wangi daging asap. Ini yang membuat orang di Korea lebih senang menggunakan briket sawdust ketimbang bahan bakar lainnya.
Agus bercerita, setiap pekan masih rutin mengirim briket sawdust ke Korea. Saban bulan, ia bisa mengekspor 200 ton. Harga briketnya Rp 3.000–Rp 4.500 per kilogram. Sehingga, dia bisa meraup omzet sekitar Rp 700 juta sebulan. Eko Purnomo, pemilik CV Purnomo Indonesia, juga menikmati gurihnya bisnis briket sawdust. "Di tahun lalu, perusahaan saya pernah mengekspor briket sawdust ke Korea satu kontainer atau 24 ton per bulan," katanya.
Ia membanderol briketnya US$ 4,2 per boks dengan berat 8 kg. Pasokan briket didatangkan dari sejumlah produsen di seputaran daerah Jawa Timur. Sayang, sejak awal tahun ini Eko harus menghentikan bisnisnya sementara waktu. Sebab, dia kehilangan pembeli (buyer) dan belum menemukan buyer baru.
Meski permintaan bagus dan prospek tampak cerah, bukan berarti bisnis ini tidak memiliki kendala. Kendalanya, menurut Eko, adalah minimnya bahan baku. Pendapat ini diamini Agus. Kebutuhan serbuk gergaji untuk industri briket sawdust cukup banyak. Sebanyak 1.000 ton serbuk gergaji menghasilkan 250 ton briket sawdust.
Hama adalah salah satu momok terbesar bagi petani. Selama ini solusi penanggulangan hama adalah dengan pestisida. Namun, bahan kimia pembunuh hama juga berbahaya bagi manusia dan juga alam sekitarnya. Pestisida organik dapat menjadi jalan keluar dari masalah ini. Sayang, secara ekonomis harga pestisida organik masih cukup memberatkan petani.
Sementara itu, serangan hama amatlah meresahkan petani. Kehadiran hama bakal merusak tanaman dan menggagalkan panen. Selama ini, pestisida menjadi senjata ampuh pengusir hama.
Sayang, pemakaian pestisida bisa menimbulkan masalah baru. Kebanyakan pestisida mengandung bahan-bahan kimia yang justru membahayakan tanah dan, bahkan, manusia.
Kini, para petani tak perlu pusing dengan dilema tersebut lantaran sudah ada pestisida organik yang tidak menimbulkan kerusakan tanah. Pestisida itu berasal dari tumbuhan dan mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak akan mencemari lingkungan.
Salah satu produsen pestisida organik adalah Bilqis Sejahtera. Staf Marketing Bilqis Sejahtera Syahri Alamsyah mengatakan, penggunaan pestisida organik tidak menimbulkan efek samping pada lingkungan. "Pestisida ini termasuk produk ramah lingkungan," kata Syahri.
Produk pestisida organik yang bernama Bio Pestisida ini menggunakan bahan dasar tumbuhan. Namun, Syahri enggan menyebut jenis tumbuhan yang menjadi bagan utama Bio Pestisida.
Syahri mengklaim, perusahaannya membuat pestisida dengan formula yang memiliki kandungan organik. Campuran bahan tersebut akan memiliki kemampuan membunuh hama, namun tidak berbahaya bagi tanah dan tanaman. "Di dalam tanah, Bio Pestisida akan segera terurai menjadi H2O," kata Syahri.
Bio Pestisida ini mampu memusnahkan hama keong mas. Keunggulan produk ini adalah mampu membunuh keong mas hanya dalam hitungan menit.
Hebatnya, pembasmian keong mas ini tak hanya hama yang hidup di atas permukaan tanah. Keong mas yang ada di dalam tanah dengan kedalaman 20 centimeter juga ikut keok!
Harga jual Bio Pestisida di pasaran Rp 25.000 per liter. Syahri mengatakan, pelanggan produk ini tersebar di beberapa daerah di Jawa. Peminat terbesar berasal dari petani di daerah Banyumas dan Kerawang.
Syahri mengatakan, perusahaan ini memproduksi Bio Pestisida hanya jika ada pesanan. Kalau sedang ramai, pesanan bisa mencapai sebanyak 800 liter dalam sebulan. Alhasil, Syahri bisa meraup omzet mencapai Rp 20 juta per bulan. Namun, jika sepi, dalam beberapa bulan bisa jadi tak ada pesanan sama sekali.
Memang, Syahri mengakui peminat Bio Pestisida masih sedikit. Produk ini masih belum populer di kalangan petani. Belum lagi, harga produk ini lebih mahal dari-pada harga pestisida kimia yang beredar di pasaran. "Harganya dua kali lipat lebih mahal daripada pestisida biasa. Makanya kebanyakan petani masih memilih pestisida kimia," ujar Syahri.
Karena itu, Syahri pun masih belum begitu yakin atas prospek bisnis ini. Memang, dari segi lingkungan, produk ini jelas memiliki prospek yang cerah sebagai produk ramah lingkungan. Petani yang memiliki kesadaran mengenai kelestarian lingkungan tentu akan memilih produk ini ketimbang produk kimia.
Hanya saja, sebagai produk pestisida, lagi-lagi akan tergantung pada cuaca. Kalau cuaca dan lahan pertanian bagus, tentu saja produk ini tak akan laku. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, Syahri yakin pasar akan menyerap produknya. "Selain itu, perlu edukasi masyarakat supaya sadar pentingnya menjaga kelestarian lingkungan," kata Syahri.
Ada juga pestisida organik hasil produksi Muhammad Muryono dari Surabaya, Jawa Timur. Dia mengembangkan pestisida ini dari ekstrak limbah tembakau dari pabrik rokok. Muryono telah menjual pestisida tersebut sejak tiga tahun terakhir.
Muryono telah melakukan penelitian atas pestisida organik buatannya. Sejauh ini pestisida tersebut terbukti ampuh mengatasi hama-hama yang menyerang daun, misalnya ulat gaya. Namun, tingkat keberhasilan setiap daerah bisa berbeda-beda.
Harga jual pestisida organik ini Rp 25.000-Rp 50.000 per liter. Berdasarkan riset Muryono, lahan seluas 1 hektare dengan 15.000-20.000 tanaman tembakau butuh empat sampai lima liter pestisida organik setiap musimnya. Petani menyebar pestisida ini di awal dan akhir musim panen.Dengan bahan dasar lima kilogram debu tembakau, dengan masa pengerjaan satu hari, Muryono bisa memproduksi sekitar tiga liter ekstrak sebagai bahan dasar pestisida. Ampas hasil ekstraksi tersebut juga dapat menjadi pestisida apabila dicampur dengan pupuk.
Muryono yang aktif mengajar di Institut Teknologi Surabaya ini mengatakan, keunggulan semua jenis pestisida organik karena meninggalkan residu yang sedikit. Memang, alasan pemakaian pestisida organik itu meminimalisir residu dengan target zero residu alias tidak ada sama sekali residu yang tertinggal.
Selain itu, keunggulan pestisida organik adalah tidak mempengaruhi keseimbangan rantai makanan. Selama ini keseimbangan rantai makanan sering terganggu karena ternyata pestisida tidak hanya membunuh hama, tapi juga agen-agen hayati lain. Akibatnya, alur rantai makanan terganggu.
Namun ada juga kekurangan pestisida organik. Karena sifatnya yang nonkimiawi maka tidak dapat langsung membunuh hama dengan sekali aplikasi. "Jadi harus aplikasi berkali-kali biar hama bersih," kata Muryono. Sejauh ini Muryono mengaku belum menemukan efek negatif dari aplikasi pestisida organik yang berlangsung berkali-kali. Berminat mencoba?
Sumber : www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar