Salah satu faktor yang menyebabkan krisis multidimensi Indonesia sejak tahun 1997 adalah merajalelanya etos kerja yang buruk. Jansen mengambil contoh di tiga bidang saja.
Pertama, di bidang ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan ekonomi rente daripada ekonomi riil, sebuah cerminan etos kerja yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras.
Kedua, di bidang birokrasi, untuk bisa duduk di jabatan tertentu harus menyogok, yang mencerminkan etos yang mengutamakan jabatan demi uang dan kekuasaan daripada prestasi dan pelayanan publik.
Ketiga, di bidang pendidikan, ijazah bisa dibeli asal ada uang, merupakan cerminan etos buruk yang menginginkan gelar tanpa kompetensi.
Sebagai perbandingan, Jansen lantas mengutip etos Jepang dan Jerman.
Jepang terkenal dengan etos Samurai,
(1) bersikap benar dan bertanggungjawab,
(2) berani dan ksatria,
(3) murah hati dan mencintai,
(4) bersikap santun dan hormat,
(5) bersikap tulus dan sungguh-sungguh,
(6) menjaga martabat dan kehormatan, dan
(7) mengabdi pada bangsa.
Sedangkan Jerman dikenal memiliki etos
(1) bertindak rasional,
(2) berdisiplin tinggi,
(3) bekerja keras,
(4) berorientasi sukses material,
(5) tidak mengumbar kesenangan,
(6) hemat dan bersahaja, serta
(7) menabung dan berinvestasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia [1977], ‘etos kerja’ orang Indonesia adalah
(1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati;
(2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam;
(3) Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi;
(4) Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib;
(5) Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu
(6) Artistik; dekat dengan alam.
Pandangan Mochtar Lubis ini kemudian dipertanyakan kembali oleh Jansen. Benarkah Indonesia memiliki etos seperti itu? Namun Jansen mengakui bahwa etos orang Indonesia di atas memang sulit dipungkiri, tampaknya merupakan sebuah kenyataan yang pahit.
Dan karena hal tersebut bangsa Indonesia kini sudah menjadi bangsa paria di dalam pergaulan internasional. Utang semakin banyak, korupsi marajalela dan tidak mampu menangani bencana dalam negeri. Contohnya saat bencana di Aceh dan Nias, menjadi cermin yang nyata betapa miskin dan tidak berdayanya bangsa ini. Mengurus rakyat hampir tidak mampu tetapi KKN jalan terus.
Melihat kenyataan ini, sebagai anak bangsa apakah akan berdiam diri saja? Tentu saja tidak. Sebagai bentuk kepeduliaan itulah Jansen bersama rekan-rekannya di IDM mengkampanyekan etos kemana-mana.
Jansen berkeyakinan bahwa dari 220 juta rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos yang buruk. Misalkan ada pendapat yang mengatakan bahwa DPR sebenarnya tidak peduli pada rakyat karena mereka masih sempat-sempatnya memikirkan kenaikan gaji sementara mereka (pura-pura) menentang kenaikan harga BBM. Tetapi tentu, tidak semua dari 550 anggota tersebut yang berperilaku seperti itu. Di Senayan pasti masih ada yang mempunyai hati nurani, benar-benar memikirkan kepentingan rakyat, dan bersedia berkorban.
Atas keyakinan seperti itulah Jansen terus berusaha memperkuat etos sebisa mungkin dan dengan demikian turut memberi andil dalam mengubah etos bangsa ini. Dan Jansen tentu tidak sendirian. Masih banyak yang peduli. Ia mengambil contoh, sebuah bank nasional saat ini sedang mencoba merumuskan etos mereka yaitu (1) berorientasi kepada nasabah, (2) menjunjung integritas, (3) berdisiplin, (4) kerjasama, (5) saling percaya dan saling menghormati, (6) pemberdayaan SDM, (7) keseimbangan, (8) kepemimpinan, dan (9) kepedulian pada lingkungan. Itulah etos yang hendak ditegakkan dan diharapkan bisa mengubah mereka menjadi lebih baik.
Dengan adanya komitmen yang dimulai dengan merumuskan etos seperti itu, setidaknya menunjukkan adanya tekad memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Jadi, ibaratnya, dari sekian banyak pulau di Indonesia yang sudah kumuh, masih terdapat pulau-pulau yang bersih.
Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Bagi Jansen, itu menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya adalah sebuah negara yang kaya, bangsa yang besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Kenyataannya rakyat miskin bertambah banyak, pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah.
Mengapa semua itu bisa terjadi? ”Sekali lagi, hal ini disebabkan oleh etos bangsa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Etos kerja sangat penting untuk memperkuat bangsa dari sudut kerja, karena semua bidang kehidupan seperti bisnis, politik, sosial, dan sebagainya sebenarnya bergulat pada sebuah dunia yang disebut kerja. Ada pekerja politik, pekerja bisnis, pekerja sosial, pekerja birokrasi, yang semuanya menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk pekerja. Lewat bekerja, kita membangun organisasi dan bangsa kita,” katanya penuh semangat.
Jansen pun mengungkapkan harapannya akan bangsa ini. “Republik ini harusnya adalah republik dermawan. Jadi bila ada bencana di negara-negara lain, Indonesia bisa mengirim kapal, helikopter, dokter, tentara, dan sebagainya.“ Mengambil lagi contoh bencana di Aceh dan Nias, dengan jelas memberikan gambaran ciri khas bangsa yang sudah maju dan tinggi peradabannya. Mereka adalah bangsa yang dermawan, cepat dalam mengirim bantuan.
Rendahnya etos Indonesia menurut Jansen juga diperparah dengan negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan.
Misalkan seorang pemimpin melakukan korupsi, dan karena mempunyai kuasa untuk menutupi perbuatannya, hasil korupsi itu dibagi-bagikan ke bawahannya. Awalnya mungkin ada beberapa orang yang menolak untuk ikut ambil bagian. Tetapi karena adanya tekanan, dikucilkan, dikatakan sok suci, tidak setia kawan, dan sebagainya, mau tidak mau ia pun terpaksa ikut ambil bagian, dan lama kelamaan ia malah ketagihan dan mengganggapnya sebagai hal yang normal.
Interaksi sosial di antara elit dengan level di bawahnya, pemimpin dengan rakyat, membuat situasi menjadi terkondisi demikian. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah dengan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif. Misalkan ada kecelakaan kereta api, seorang dirjen harus bisa menunjukkan tanggungjawabnya dengan menyatakan mundur dari jabatannya. Dengan melakukannya, akan timbul sikap respek dan hormat dari masyarakat, dan ini akan menjadi pembelajaran yang berharga.
Melihat kenyataan etos di Indonesia yang buruk, Jansen menawarkan solusi. Bagi ia, jawaban atas keberhasilan sebuah bangsa atau organisasi terletak pada etos kerja (culture) mereka. Dalam buku berjudul Culture Matters, Huntington menulis prakata yang mengatakan tiga puluh tahun yang lalu, Ghana dan Korea Selatan memiliki kesamaan dalam banyak hal seperti indikator ekonomi dan sebagainya.
Namun, sekarang Korea Selatan sudah menjadi negara yang sangat maju sedangkan Ghana nyaris tidak mengalami perubahan alias berjalan di tempat. Kenapa hal itu bisa terjadi? Semua analisis akhirnya sampai pada satu kesimpulan, akar penyebabnya adalah culture (budaya).
Culture dalam bahasa Jansen adalah etos. Etos mencakup sikap terhadap waktu, kerja, dan masa depan yang kemudian membentuk sehimpunan perilaku khas individu atau organisasi. Pada tingkat internasional sudah dibuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh etosnya. Perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti Matshushita dari Jepang, Kodak dari Amerika, juga berhasil karena mempunyai etos kerja yang unggul.
Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang terkenal dari berbagai latar belakang seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandi, dan sebagainya. Mereka semua muncul sebagai tokoh dunia karena etos - cita-cita, nilai, prinsip, pilihan, standar perilaku – yang mereka miliki berbeda dari manusia kebanyakan. Bercermin pada pengalaman di ataslah yang menjadi motivator dan menggerakkan Jansen untuk membuat Ethos21
Sumber : http://tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/05-06/index.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar